Minggu, 01 Mei 2016

MASIHKAN MEREKA KITA HARAPKAN ?


Umat Islam di Indonesia sering sekali mendapatkan berbagai cobaan, ini dibuktikan dengan beberapa waktu yang lalu umat Islam Indonesia mendapatkan berita yang tak sedap. Tepatnya pada sabtu, 12 Maret 2016 pasca penangkapan salah satu bagian umat Islam yang “diduga” teroris, Siyono dikabarkan menghembuskan nafas terakhirnya di tangan salah satu instansi pemerintahan di Indonesia. Hingga kemudian muncul demonstrasi simpati dari berbagai elemen umat Islam di beberapa kota menuntut pembubaran instansi ini. Instansi yang dalam sejarah perkembangannya mendapatkan berbagai pandangan yang miring dari elemen umat Islam khususnya.
Berbagai berita yang menyudutkan dan merugikan umat Islam mulai sering muncul setelah berdirinya instansi ini. Instansi yang diberi nama Detasemen Khusus Antiteror 88 (Densus 88)
akhirnya mendapatkan cap dari masyarakat menjadi “detasemen penebar teror” bagi masyarakat. Apakah ini bisa kita terima ?, apakah dengan cara-cara seperti ini bisa menimbulkan kedamainan dan keamanan untuk masyarakat Indonesia, yang khusunya masyarakat mayoritas yakni umat Islam ?, pertanyaan seperti itulah yang menarik untuk kita tanyakan kepada pemerintah Indonesia yang memang seharusnya tugas pemerintah untuk menciptakan keamanan dan kedamaian untuk segenap masyarakat Indonesia.
 Tak hanya sekali berita semacam ini hadir dalam rekam jejak perjalanan umat Islam khususnya Islam di Indonesia. Siyono menjadi salah satu dari deretan korban meninggal lewat titel “dugaan teroris” yang disematkan kepadanya. Sering sekali berita-berita baik di media cetak maupun media elektronik memberitakan perihal seperti ini. Titel ini bisa menjadi momok yang berbahaya bagi eksistensi umat Islam di Indonesia. Titel yang dapat mencemari nama baik Islam di mata dunia khususnya di Indonesia. Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar sedunia memiliki pengaruh yang tidak dapat di pandang sepele. Dengan diberikan hal-hal yang semacam ini akhirnya dapat menimbulkan efek islamophobia atau ketakutan pada Islam. Dakwah Islam pun akhirnya semakin sulit untuk berlangsung.

DENSUS 88
Detasemen Khusus Antiteror 88 atau biasa disebut DENSUS 88 sebagai tim Anti Teror Mabes Polri dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Kapolri No. Pol. : Skep/756/X/2005 dengan tujuan untuk menjaga keamanan masyarakat dan negara dari serangan teroris. Logo atau simbol  yang dipakai oleh satuan ini berupa desain lingkaran garis warna hitam dengan tulisan DETASEMEN KHUSUS 88 ANTI TEROR dengan latar belakang warna merah marun dan di tengah-tengah lingkaran terdapat gambar burung hantu warna hitam dan abu-abu dengan latar belakang warna kuning terang.
Simbol ini dipilih mengingat filosofi yang didapat dari kemampuan sebenarnya burung hantu itu sendiri. Dimana burung hantu sebagai hewan yang mempunyai pendengaran dan penglihatan yang tajam serta kecepatan untuk menangkap mangsa favoritnya yaitu tikus. Disini tikus diibaratkan seperti teroris yang sifatnya sama seperti tikus, suka mengganggu dan berbuat yang merugikan.
Untuk nama Densus 88 sendiri terdapat banyak opini dari mana nama ini diambil ;
Pertama ada yang mengaitkan nama ini dengan jumlah korban dari pihak Australia pada peristiwa Bom Bali 2002 yaitu sebanyak 88 orang. Hal ini mengakibatkan banyak masyarakat yang menilai negatif bahwa sebenarnya Densus 88 dibentuk oleh pemerintah Australia dan hanya menjadi alat asing.
Kedua, ada spekulasi yang mengatakan bahwa sebenarnya nama Densus 88 diambil dari nama unit komando intelijen Jawa Barat pada masa awal kemerdekaan 1945 yang pada saat itu diperkirakan diambil dari huruf depan nama Soekarno dan hatta yaitu S dan H yang masing masing huruf tersebut menjadi huruf ke 8 dari huruf Jawa dan huruf Barat.
Ketiga, adalah adanya salah pengertian dari pengucapan Anti Terrorism Act yang disingkat ATA. Yang menurut opini, orang indonesia mendengar singkatan ini dengan ejaan E-Ti-E atau yang dipelesetkan eighty eight (88). [sumber: islampos]
Selama kurang lebih 11 tahun institusi ini berdiri telah banyak korban-korban yang berjatuhan, bahkan ada yang menyatakan bahwa jumlah korban meninggal oleh Densus 88 selama ini mencapai 121 korban [sumber; Komnas HAM] , dan korban yang dimaksud disini ialah korban yang diduga sebagai teroris dan tanpa adanya prosedur peradilan. Apakah ini yang disebut sebagai negara hukum ?, Intitusi yang niatnya menciptakan keamanan dan kedamainan akhirnya menjadi institusi pengancam keamanan dan kedamaian masyarakat. Ini bukanlah hanya sebatas opini, fakta-fakta di lapangan dan berbagai media masa yang sering memberitakan hal-hal tersebut cukuplah sebagai bukti bahwa institusi ini bermasalah dan perlu ditinjau kembali.
                 
SIKAP UMAT ISLAM
                Sebagai bagian dari umat Islam kita seharusnya bersatu dalam menghadapi hingga mencegah tindakan-tindakan kedzaliman yang menimpa umat selama ini. Cukuplah kasus yang menimpa Siyono tidak terulang kembali. Prosedur penangkapan terhadap orang-orang yang diduga sebagai teroris tidaklah seharusnya seperti ini, seperti yang disebutkan ketua PP Muhammadiyah “seharusnya mereka yang disebut teroris itu dibawa ke pengadilan. Kita menganut asas praduga tak bersalah” inilah yang seharusnya dilakukan oleh sebuah negara hukum, yakni pengadilan.
Selain itu juga behwa harga satu nyawa seorang muslim sangatlah berharga dan tidaklah setimpal dengan uang yang bernilai 100 juta rupiah, dalam hal ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:        
لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عِنْدَ اللهِ مِنْ قَتْلِ رَجُلٍ مُسْلِمٍ.
“Hancurnya dunia lebih ringan di sisi Allah dibandingkan terbunuhnya seorang muslim.”
(HR. An-Nasa’i)
قَتْلُ الْمُؤْمِنِ أَعْظَمُ عِنْدَ اللهِ مِنْ زَوَالِ الدُّنْيَا.
“Dosa membunuh seorang mukmin lebih besar daripada hancurnya dunia.” (HR. An-Nasa’i)
                Maka dari itu maka sudah sepantasnya umat Islam di Indonesia khususnya, mendukung dan membantu usaha yang dilakukan sebagian dari umat Islam di Indonesia yang telah mencoba mengadvokasi penanganan kasus ini, agar kelak pemerintah Indonesia lewat instansinya lebih baik lagi dalam penanganan kasus-kasus yang menimbulkan hilangnya nyawa seseorang dan menyudutkan umat Islam. Hingga hilanglah perasaan saling membenci antar sesama bagian dari masyarakat Indonesia. Dan terciptanya keamanan dan kedamaan di bumi Indonesia. Wallahu’alam.

Shofian Rahmat Apria
Bandung, 28 April 2016, selesai pukul 21.45 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar