Umat Islam di
Indonesia sering sekali mendapatkan berbagai cobaan, ini dibuktikan dengan beberapa
waktu yang lalu umat Islam Indonesia mendapatkan berita yang tak sedap. Tepatnya
pada sabtu, 12 Maret 2016 pasca penangkapan salah satu bagian umat Islam yang
“diduga” teroris, Siyono dikabarkan menghembuskan nafas terakhirnya di tangan
salah satu instansi pemerintahan di Indonesia. Hingga kemudian muncul demonstrasi
simpati dari berbagai elemen umat Islam di beberapa kota menuntut pembubaran
instansi ini. Instansi yang dalam sejarah perkembangannya mendapatkan berbagai
pandangan yang miring dari elemen umat Islam khususnya.
Berbagai
berita yang menyudutkan dan merugikan umat Islam mulai sering muncul setelah
berdirinya instansi ini. Instansi yang diberi nama Detasemen Khusus Antiteror
88 (Densus 88)
akhirnya mendapatkan cap dari masyarakat menjadi “detasemen
penebar teror” bagi masyarakat. Apakah ini bisa kita terima ?, apakah
dengan cara-cara seperti ini bisa menimbulkan kedamainan dan keamanan untuk
masyarakat Indonesia, yang khusunya masyarakat mayoritas yakni umat Islam ?, pertanyaan
seperti itulah yang menarik untuk kita tanyakan kepada pemerintah Indonesia
yang memang seharusnya tugas pemerintah untuk menciptakan keamanan dan kedamaian
untuk segenap masyarakat Indonesia.
Tak hanya sekali berita semacam ini hadir
dalam rekam jejak perjalanan umat Islam khususnya Islam di Indonesia. Siyono
menjadi salah satu dari deretan korban meninggal lewat titel “dugaan teroris”
yang disematkan kepadanya. Sering sekali berita-berita baik di media cetak
maupun media elektronik memberitakan perihal seperti ini. Titel ini bisa
menjadi momok yang berbahaya bagi eksistensi umat Islam di Indonesia. Titel
yang dapat mencemari nama baik Islam di mata dunia khususnya di Indonesia.
Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar sedunia memiliki
pengaruh yang tidak dapat di pandang sepele. Dengan diberikan hal-hal yang
semacam ini akhirnya dapat menimbulkan efek islamophobia atau ketakutan
pada Islam. Dakwah Islam pun akhirnya semakin sulit untuk berlangsung.
DENSUS 88
Detasemen
Khusus Antiteror 88 atau biasa disebut DENSUS 88 sebagai tim Anti Teror Mabes
Polri dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Kapolri No. Pol. : Skep/756/X/2005
dengan tujuan untuk menjaga keamanan masyarakat dan negara dari serangan
teroris. Logo atau simbol yang dipakai
oleh satuan ini berupa desain lingkaran garis warna hitam dengan tulisan
DETASEMEN KHUSUS 88 ANTI TEROR dengan latar belakang warna merah marun dan di
tengah-tengah lingkaran terdapat gambar burung hantu warna hitam dan abu-abu
dengan latar belakang warna kuning terang.
Simbol ini
dipilih mengingat filosofi yang didapat dari kemampuan sebenarnya burung hantu
itu sendiri. Dimana burung hantu sebagai hewan yang mempunyai pendengaran dan
penglihatan yang tajam serta kecepatan untuk menangkap mangsa favoritnya yaitu
tikus. Disini tikus diibaratkan seperti teroris yang sifatnya sama seperti
tikus, suka mengganggu dan berbuat yang merugikan.
Untuk nama Densus 88 sendiri
terdapat banyak opini dari mana nama ini diambil ;
Pertama ada
yang mengaitkan nama ini dengan jumlah korban dari pihak Australia pada
peristiwa Bom Bali 2002 yaitu sebanyak 88 orang. Hal ini mengakibatkan banyak
masyarakat yang menilai negatif bahwa sebenarnya Densus 88 dibentuk oleh
pemerintah Australia dan hanya menjadi alat asing.
Kedua, ada
spekulasi yang mengatakan bahwa sebenarnya nama Densus 88 diambil dari nama
unit komando intelijen Jawa Barat pada masa awal kemerdekaan 1945 yang pada saat
itu diperkirakan diambil dari huruf depan nama Soekarno dan hatta yaitu S dan H
yang masing masing huruf tersebut menjadi huruf ke 8 dari huruf Jawa dan huruf
Barat.
Ketiga, adalah
adanya salah pengertian dari pengucapan Anti Terrorism Act yang disingkat ATA.
Yang menurut opini, orang indonesia mendengar singkatan ini dengan ejaan E-Ti-E
atau yang dipelesetkan eighty eight (88). [sumber: islampos]
Selama kurang
lebih 11 tahun institusi ini berdiri telah banyak korban-korban yang
berjatuhan, bahkan ada yang menyatakan bahwa jumlah korban meninggal oleh
Densus 88 selama ini mencapai 121 korban [sumber; Komnas HAM] , dan korban yang dimaksud disini ialah korban
yang diduga sebagai teroris dan tanpa adanya prosedur peradilan. Apakah ini
yang disebut sebagai negara hukum ?, Intitusi yang niatnya menciptakan keamanan
dan kedamainan akhirnya menjadi institusi pengancam keamanan dan kedamaian
masyarakat. Ini bukanlah hanya sebatas opini, fakta-fakta di lapangan dan berbagai
media masa yang sering memberitakan hal-hal tersebut cukuplah sebagai bukti
bahwa institusi ini bermasalah dan perlu ditinjau kembali.
SIKAP UMAT ISLAM
Sebagai
bagian dari umat Islam kita seharusnya bersatu dalam menghadapi hingga mencegah
tindakan-tindakan kedzaliman yang menimpa umat selama ini. Cukuplah kasus yang
menimpa Siyono tidak terulang kembali. Prosedur penangkapan terhadap
orang-orang yang diduga sebagai teroris tidaklah seharusnya seperti ini, seperti
yang disebutkan ketua PP Muhammadiyah “seharusnya mereka yang disebut teroris
itu dibawa ke pengadilan. Kita menganut asas praduga tak bersalah” inilah
yang seharusnya dilakukan oleh sebuah negara hukum, yakni pengadilan.
Selain itu
juga behwa harga satu nyawa seorang muslim sangatlah berharga dan tidaklah
setimpal dengan uang yang bernilai 100 juta rupiah, dalam hal ini Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
لَزَوَالُ
الدُّنْيَا أَهْوَنُ عِنْدَ اللهِ مِنْ قَتْلِ رَجُلٍ مُسْلِمٍ.
“Hancurnya dunia lebih ringan
di sisi Allah dibandingkan terbunuhnya seorang muslim.”
(HR. An-Nasa’i)
(HR. An-Nasa’i)
قَتْلُ
الْمُؤْمِنِ أَعْظَمُ عِنْدَ اللهِ مِنْ زَوَالِ الدُّنْيَا.
“Dosa membunuh seorang mukmin
lebih besar daripada hancurnya dunia.” (HR. An-Nasa’i)
Maka
dari itu maka sudah sepantasnya umat Islam di Indonesia khususnya, mendukung
dan membantu usaha yang dilakukan sebagian dari umat Islam di Indonesia yang
telah mencoba mengadvokasi penanganan kasus ini, agar kelak pemerintah
Indonesia lewat instansinya lebih baik lagi dalam penanganan kasus-kasus yang
menimbulkan hilangnya nyawa seseorang dan menyudutkan umat Islam. Hingga
hilanglah perasaan saling membenci antar sesama bagian dari masyarakat Indonesia.
Dan terciptanya keamanan dan kedamaan di bumi Indonesia. Wallahu’alam.
Bandung, 28 April 2016, selesai pukul 21.45 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar